Rabu, 11 November 2009

Adab menuntut Ilmu


Dalam tradisi islam, seorang pelajar, murid, atau santri

Yang menuntut ilamu, seyogyanya terlebih dahulu

Membersihkan hati dan pikiran, agar mampu

Menerima ilmu, menghafalnya, dan mendapatkan buahnya.


Dalam Islam, menuntut ilmu bukanlah sekedar mengisi otak dan pikiran, tetapi juga memperhalus perasaan dan menumbuhkan kebijakan, yang dicari pun bukan hanya ilmu tetapi juga manfaat dan keberkahannya. Karenanya setiap orang yang terlibat dalam kegiatan mencari ilmu mesti memperhatikan adab-adab yang perlu dijaga dan dipelihara. Berikut adab-adab menuntut ilmu yang diterjemahkan dan disarikan dari kitab Al-Manhaj As-Sawi, karya Al-Allamah Al-Habib Zein bin Ibrahim bin Semith.

1. Ikhlas Karena Allah SWT

Imam Nawawi menulis didalam mukaddimah kitab Syarh Al-Muhadzdzab, “semestinya seorang pelajar membersihkan hati dan kotoran, agar layak menerima ilmu dan menghafalnya, dan mendapatkan buahnya”. Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim terdapat hadits Rasulullah yang menyebutkan, “Sesungguhnya di dalam tubuh terdapat segumpal daging yang bila baik, baiklah seluruh tubuh, dan bila rusak rusaklah seluruh tubuh, ketahuilah itulah hati”.

Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad mengatakan “seandainya engkau datang membawa bejana kotor kepada seseorang untuk mendapatkan minyak, madu atau semacamnya, ia akan berkata padamu, “pergilah, cucilah dulu, bagaimana rahasia ilmu akan ditempatkan dalam hati yang kotor?”.

Mengenai kotornya hati, Imam Sahl bin Abdullah mengatakan, “sulit bagi hati untuk di masuki cahaya jika didalamnya terdapat sesuatu yang dibenci Allah. Ajaran islam sangat menekankan pentingnya keikhlasan karena Allah dalam menuntut ilmu. Imam Syafi’i mengatakan,”tidaklah seseorang yang mempelajari ilmu dengan kekuasaan dan tinggi hati, akan bahagia. Yang akan bahagia adalah mereka yang mempelajari dengan rendah hati, kehidupan yang sulit dan mengabdi kepada ulama”.

Sementara Ibnu Abbas mengatakan, “Aku hina ketika menjadi penuntut ilmu, lalu mulia ketika menjadi orang yang dituntut ilmunya”.

2. Tidak Malu Dan Sombong

Orang yang menuntut ilmu juga selayaknya tidak malu dan sombong, sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al-Mujahid, “Tidak akan dapat mempelajari ilmu orang yang pemalu dan sombong”. Mengenai ini Habib Zein bin Semith berkata, “Seorang pemalu tidak dapat mempelajari ilmu karena ia tercegah oleh rasa malu untuk mempelajari agama dan menanyakan apa yang tidak diketahuinya. Sedangkan orang yang sombong tercegah oleh sikap takabur untuk mengambil manfaat dan belajar kepada orang yang lebih rendah derajatnya. Tidaklah seseorang menjadi alim sampai ia mengambil ilmu dari orang yang derajatnya lebih tinggi, dari orang yang sederajat, dan dari orang yang derajatnya lebih rendah.”

Ulama besar seperti Imam Idrus bin Umar Al-Habsyi juga mengutamakan adab menuntut ilmu. Menurutnya, orang yang menuntut ilmu mestinya dapat mengambil manfaat dengan adab yang baik dari mana saja, baik dari orang yang dekat, orang jauh, orang yang tinggi atau rendah kedudukannya, orang yang suka menampakkan diri atau menyembunyikan diri, dan tidak terbelenggu oleh kebodohan dan kebiasaan, tidak mencegah dirinya untuk mengambil ilmu dari orang yang tidak terkenal.

3. Kosong dari Ilmu

Masih mengenai adab menuntut ilmu, Abu Al-Bakhtari mengatakan, “Aku berada disuatu kaum yang lebih alim daripada aku, lebih aku sukai daripada aku di suatu kaum dimana aku paling alim. Sebab, jika aku orang yang paling alim, kau tidak dapat mengambil manfaat. Sebaliknya jika aku berada bersama orang-orang yang lebih alim, niscaya aku dapat mengambil manfaat.” Demikian dikutip oleh Al-Yafi’I dalam kitab Mir’at Al-Jinan. Ulama besar seperti Imam Abdullah bin Alwi Al-Haddad juga sangat mementingkan adab menuntut ilmu. Ia berkata “Tidak dibukakan suatu ilmu bagi seseorang sampai ia mencari dan menyakini bahwa ia kosong dari ilmu itu (belum memilikinya).” Bukan hanya itu ia juga harus sedikit makan dan tidur, sebagaimana dikatakan oleh Imam Sahnun,”Ilmu itu tidak layak bagi orang yang makan sampai kenyang”.

Dalam kitab Hilyah Auliya, Imam Syafi’i menulis, “Sejak berusia 16 tahun aku tidak pernah kenyang, karena kenyang itu memberatkan badan, mengeraskan hati, menghilangkan kecerdasan, mengundang tidur dan melemahkan orang dari ibadah.

Dalam kitab Ath-thib an-Nabawi, yang kemudian dikutip pula dalam kitab Kasyf Al-Khafa’, dikisahkan, Khalifah Umar bin Khattab mengatakan, “Jauhilah rakus dalam makanan dan minuman, karena hal itu membawa kerusakan tubuh, menyebabkan kegagalan, dan membuat malas beribadah.”
Sumber: http://assajjad.wordpress.com

  ©Template by @gus.